Perkebunan di indonesia

 Perkebunan di Indonesia


   Perkebunan merupakan subsektor yang berperan penting dalam perekonomian nasional melalui kontribusi dalam pendapatan nasional, penyediaan lapangan kerja, penerimaan ekspor, dan penerimaan pajak. Dalam perkembangannya, subsektor ini tidak terlepas dari berbagai dinamika lingkungan nasional dan global. Perubahan strategis nasional dan global tersebut mengisyaratkan bahwa pembangunan perkebunan harus mengikuti dinamika lingkungan perkebunan. Pembangunan perkebunan harus mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi perkebunan selain mampu menjawab tantangan-tantangan globalisasi. Masalah-masalah yang dihadapi perkebunan tersebut antara lain:

1.  Masalah yang berkaitan dengan kepentingan rakyat dan nasional

   Orientasi kebijakan perkebunan sejauh ini membedakan secara tajam antara perkebunan besar dengan perkebunan rakyat. Implikasi kebijakan dualistik ini telah memberi kemudahan bagi yang “besar” dan tekanan bagi yang “kecil”, dengan gambaran sebagai berikut :

1)Perkebunan Indonesia masih diliputi oleh dualisme ekonomi, yaitu antara perkebunan besar yang menggunakan modal dan teknologi secara intensif dan menggunakan lahan secara ekstensif serta manajemen eksploitatif terhadap SDA dan SDM, dan perkebunan rakyat yang susbsisten dan tradisional serta luas lahan terbatas. Kedua sistem ini menguasai bagian tertentu dari masyarakat dan keduanya hidup berdampingan. Perbedaan keduanya tidak jarang menimbulkan konflik ekonomi yang berkembang menjadi konflik sosial.

2)Perkebunan Rakyat (PR) yang luasnya sekitar 80% dari perkebunan nasional masih belum mendapatkan fasilitas dan perlindungan yang memadai dari pemerintah. Masalah ini menjadi penting antara lain karena jumlah KK yang tergantung pada perkebunan rakyat sekitar 15 juta.

3) Hak menguasai oleh negara atas tanah yang kemudian diberikan kepada badan hukum sebagai Hak Guna Usaha untuk usaha perkebunan sangat dominan, sementara itu ketidak-pastian hak masyarakat   (lokal dan adat) atas sumberdaya lahan untuk perkebunan belum kunjung diselesaikan.

4) Masuknya pemodal besar ke usaha perkebunan masih belum memberikan kontribusi pada kesejahteraan rakyat setempat. Hingga saat ini masih belum ada re-distribusi aset dan manfaat yang adil (proporsional) kepada masyarakat dari usaha perkebunan.

5) Ke bijakan pengembangan perkebunan lebih berpihak pada perkebunan besar yang ditunjukkan oleh alokasi pemanfaatan kredit, dukungan penelitian dan pengembangan, serta pelatihan sumberdaya manusia.

6) Pengembangan perkebunan besar lebih dilandasi pada pembukaan lahan hutan dalam skala besar yang dilakukan dengan mengabaikan hak-hak masyarakat di dalamnya. Pada beberapa daerah kondisi demikian ini telah menimbulkan konflik sosial serta dampak negatif terhadap lingkungan.

7) Organisasi-organisasi usaha perkebunan yang menghimpun diri dalam asosiasi pengusaha perkebunan bersifat eksklusif dan powerful dengan tingkat kepedulian terhadap pemberdayaan organisasi-organisasi petani/pekebun rendah.

2. Masalah Manajemen Pengelolaan Perkebunan

Kebijakan pengembangan perkebunan yang ekstentif, sejauh ini telah mengesampingkan produktivitas, efisiensi, dan product development . Dengan berbagai upaya pembangunan, secara umum beberapa komoditas mengalami kenaikan produktivitas, namun secara umum produktivitas komoditas perkebunan masih rendah dan masih dapat ditingkatkan. Masih rendahnya produktivitas komoditas perkebunan tersebut merupakan tantangan bagi pengembangan perkebunan kedepan.

Produktivitas perkebunan nasional masih tertinggal dari perkebunan negara tetangga, khususnya Malaysia dan Thailand . Produktivitas kelapa sawit misalnya di Malaysia rata-rata berkisar antara 18 – 21 ton Tandan Buah Segar (TBS)/ha/tahun. Sementara produktivitas kelapa sawit di Indonesia baru berkisar 14 – 16 ton/ha/tahun. Produktivitas rata-rata karet di Thailand mencapai 1 – 2 ton/ha, sementara di Indonesia berkisar antara 0,6 – 1 ton/ha.

3. Masalah Pemasaran dan Ekonomi

Pada pasar primer, yaitu pasar hasil perkebunan dari Perkebunan Rakyat, pekebun yang berjumlah ribuan dan terpencar berhadapan dengan beberapa pedagang (desa sampai kabupaten) dan karena sifat produk perkebunan yang harus diolah berhadapan dengan “kelompok” industri pengolahan primer. Struktur pasar yang berkembang cenderung kearah struktur pasar tidak bersaing (oligopsoni). Pengembangan PR, seperti di daerah Perusahaan Inti Rakyat (PIR) untuk merubah struktur pasar oligopsoni justru terjebak pada munculnya struktur pasar monopsoni dimana pekebun berhadapan langsung dengan industri pengolahan.

Produk perkebunan merupakan produk yang diperdagangkan secara internasional sehingga mekanisme pasar terjadi di pasar internasional. Dengan keterbatasan aksesnya, pekebun pada PR tidak mendapatkan informasi pasar secara efektif. Informasi pasar (harga, mutu, jumlah yang dibutuhkan, dan lain-lain) yang diperoleh secara efektif berasal dari pedagang atau industri pengolahan. Akibatnya, pekebun memperoleh informasi pasar yang bersifat tidak simetris.

Secara nasional perkembangan pangsa pasar beberapa produk perkebunan utama menunjukkan adanya kecenderungan penurunan dari waktu ke waktu, tergeser oleh beberapa negara pesaing, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, India dan Sri Lanka. Hal ini mengindikasikan daya saing industri dan produk perkebunan Indonesia masih sangat lemah. Perekonomian perkebunan juga masih didominasi oleh produk primer perkebunan. Padahal, potensi untuk mengembangkan industri hilir perkebunan masih terbuka dan pasar produk hilir perkebunan lebih prospektif. Malaysia merupakan salah satu contoh negara produsen produk perkebunan, baik primer maupun hilir.

4.Masalah Sosiokultural (Sosial Budaya)

Krisis multidimensi memicu terjadinya konflik sosial di daerah perkebunan. Masalah konflik sosial ini terjadi karena beberapa hal sebagai berikut :

1) Pasar lahan tidak dapat mengalokasikan lahan secara efisien dan adil. Hal ini terjadi terutama dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk serta kebijakan pengalokasian lahan masa lalu yang tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat. Pada saat ini kepemilikan lahan perkebunan rakyat rata-rata adalah 0,92 ha/petani, sementara pada perkebunan besar mengelola lahan rata-rata 1.947 ha/unit usaha.

2) Tatanan dan kebijakan di bidang agraria tidak kompatibel dengan perkembangan dan kondisi sosial masyarakat.

3) Sistim administrasi pertanahan belum tertib, terutama dengan terjadinya duplikasi pemilikan atau penguasaan lahan.

4) Lahan yang tersedia belum dimanfaatkan secara efisien dan produktif. Untuk lahan HGU perkebunan besar sekitar 4,6 juta ha,saat ini baru termanfaatkan untuk tanaman, bangunan dan emplasemen sekitar 60%.

5)  Kepastian hukum masyarakat terhadap lahan belum terjamin.

6) Makin kompetitifnya alternatif penggunaan lahan. Hal ini terutama kompetisi dengan peruntukkan pemukiman maupun dengan industri.

7) Masih terdapat lahan perkebunan rakyat yang berada pada kawasan hutan dan telah berlangsung cukup lama dari generasi ke generasi.

8) Pemilikan lahan masih berfungsi sebagai komoditas perdagangan (belum melihat lahan dari azas manfaat).

9) Penyediaan fasilitas pembiayaan untuk perkebunan besar swasta nasional yang mencakup 2 juta ha dibiayai dari dana kredit sebanyak 1,6 juta ha (80%), sedangkan pada perkebunan rakyat, dari 11,2 juta ha yang ada, yang dibiayai dengan kredit hanya sebanyak 2 juta ha (18%). Angka tersebut menunjukan masih rendahnya perhatian lembaga keuangan terhadap pembangunan perkebunan rakyat, sebagaimana telah digambarkan memiliki potensi sangat besar.

5.Masalah Lingkungan

Metode paling efisien dalam kegiatan pembukaan lahan perkebunan adalah pembakaran. Namun dampak lingkungan yang ditimbulkannya sangat merugikan. Sampai saat ini, pembakaran dalam kegiatan pembukaan lahan masih dijalankan, baik di perkebunan rakyat maupun perkebunan besar. UU tentang pengelolaan lingkungan hidup masih memberi toleransi adanya pembakaran terkendali untuk perkebunan rakyat dan pelarangan untuk perkebunan besar. 

Limbah padat, cair dan gas masih menjadi masalah penting di perkebunan, baik di level on farm maupun di pabrik. Masalah ini timbul dalam batas tertentu karena belum adanya teknologi penanganan limbah, mahalnya investasi industri pemanfaatan limbah perkebunan dan rendahnya kesadaran penanganan limbah dan lemahnya penerapan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penanganan limbah. Masalah lingkungan ini kebanyakan terjadi pada perkebunan kelapa sawit.

Sebagian besar perkebunan sawit muncul dengan mengkonversi hutan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi menjadi hamparan perkebunan monokultur. Dalam pengelolaannya, penggunaan bahan kimia intensif, salah satunya herbisida kerap digunakan dan menjadi salah satu faktor perusak lingkungan yang signifikan.

Akibatnya berbagai spesies tanaman dan hewan yang bergantung hidupnya pada hutan terancam keberadaannya. Konflik terbuka antara manusia dengan berbagai hewan seperti dengan gajah dan harimau tidak dapat dihindari, seperti yang kerap terjadi di Sumatera. Sementara, sebagian hewan lainnya, semisal orang utan di Kalimantan semakin sulit mendapatkan makanan. Luas hutan yang menyempit akibat perluasan kebun sawit tidak mampu lagi menyediakan kebutuhan beragam spesies liar yang hidup di hutan.

Sementara proses pembersihan lahan untuk perkebunan sawit dilakukan dengan cara membakar, menimbulkan masalah kabut asap yang sejak era 90-an hampir setiap tahun mencemari sejumlah wilayah di Sumatera dan Kalimantan bahkan menyebar hingga ke negeri tetangga. Bukan hanya nafas yang semakin sesak akibat inffeksi saluran nafas dan masalah kesehatan lainnya yang muncul tetapi juga besarnya kerugian ekonomi yang ditimbulkannya.

Di sisi sosial, kehidupan masyarakat adat yang sangat bergantung dengan hutan menjadi terancam. Hak dan kepentingan mereka kerap dilanggar oleh para pelaku industri perkebunan sawit yang melanggar batas-batas tanah adat dan menerapkan praktek yang tidak selaras dengan nilai-nilai masyarakat adat. Konflik pun tidak terhindarkan.

6. Masalah Iptek

Apresiasi dan perhatian terhadap hasil Iptek masih rendah. Manajemen feodalistik perkebunan besar menganggap penggunaan dana untuk kebutuhan Iptek sebagai pemborosan. Iptek dianggap belum menjadi bagian integral dari pengembangan usaha perkebunan. Penyediaan dana penelitian dan pengembangan perkebunan masih mengandalkan pemerintah dan sebagian kecil dari BUMN.

Dengan keterbatasannya, lembaga penelitian perkebunan hingga saat ini belum berhasil melakukan transfer teknologi, terutama ke perkebunan rakyat secara efektif. Transfer teknologi masih terbatas pada daerah-daerah pengembangan perkebunan rakyat.

7. Masalah SDM

Permasalahan perkebunan lainnya terkait dengan masalah kualitas sumber daya manusia perkebunan, baik dari kalangan petani, pengusaha maupun aparat pemerintah. Sampai saat ini masih dijumpai berbagai permasalahan sebagai berikut:

1. Mentalitas yang hidup dan berkembang di masyarakat belum mendukung berkembangnya nilai-nilai yang dibutuhkan untuk kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan masyarakat. Sebagai contoh, pada sebagian masyarakat masih sangat tergantung kepada proyek-proyek pemerintah. 

2.Daya asimilasi dan absorbsi terhadap teknologi masih lemah. Hal ini terlihat dengan masih terbatasnya (sekitar 20%) dari masyarakat petani yang menggunakan klon unggul dalam usaha kebunnya.

3. Kemampuan teknis, wira usaha dan manajemen masih rendah. Dengan kondisi ini, petani ataupun kelembagaan ekonomi petani belum mampu memanfaatkan peluang bisnis yang ada di lingkungannya. 

4.Kemampuan lobby yang masih rendah. Kemampuan lobby ini dibutuhkan untuk dapat memperluas peluang usa ha, baik petani mapun dunia usaha.

8.Masalah Kelembagaan

Permasalahan perkebunan juga terkait dengan masalah kelembagaan. Kelembagaan yang ada masih belum mampu mengembangkan kegiatan ekonomi masyarakat, sekaligus mempertangguh struktur komoditas dan efisiensi dari seluruh rangkaian kegiatan. Penumbuhan kelembagaan petani dan pengembangan kemitraan usaha antara petani dengan pengusaha atau perkebunan besar masih menghadapi beberapa kendala sebagai berikut :

1. Terjadinya ekonomi dualistik antara perkebunan rakyat dengan perkebunan besar,     maupun antara hulu dan hilir yang sering menimbulkan konflik.

2. Terjadinya praktek-praktek kegiatan monopoli, oligopoli, dan monopsoni spasial terutama di kegiatan hilir yang menyebabkan inefisiensi usaha. 

3. Kelembagaan petani masih lemah, baik dari aspek sosial maupun ekonomi. Lemahnya kelembagaan ini kemungkinan karena terjadinya intervensi yang berlebihan dari pemerintah, terutama dengan pembentukan KUD-KUD yang justru banyak merusak tatanan kelembagaan masyarakat.

4. Kelembagaan permodalan dan investasi kurang mendukung. Dalam kondisi perekonomian seperti saat ini, maka diperlukan lembaga keuangan alternatif yang dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pengembangan hutan dan kebun.

5. Kelembagaan yang menjamin keberpihakan kepada petani masih lemah. Hal ini terjadi kemungkinan karena anggapan bahwa petani tidak mampu untuk mengembangkan usahanya secara ekonomis.

6. Kelembagaan pendidikan perkebunan masih kurang. Lembaga pendidikan yang khusus menangani perkebunan yang ada saat ini masih sangat terbatas, padahal lokasi pengembangan perkebunan sebagian besar di luar Jawa. 

7. Kelembagaan pemasaran masih lemah. Hal ini ditunjukkan dengan masih terbatasnya pasar komoditas perkebunan. Pasar ekspor komoditas perkebunan selama ini terkonsentrasi pada negara pengimpor tradisionil, sedangkan untuk pasar baru masih terbatas.

8. Kelembagaan Iptek belum optimal, terutama kemampuan kelembagaan Iptek yang benar-benar mampu menghasilkan Iptek yang dibutuhkan oleh dunia usaha.
9.  Kelembagaan informasi belum berkembang, baik informasi di bidang iptek maupun pemasaran. 

10. Kelembagaan pertanahan masih lemah. Hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya kasus-kasus lahan yang sering menimbulkan konflik. 

Bagi Indonesia, sawit adalah salah satu sumber pendapatan utama. Dari sekitar 11 juta hektar perkebunan sawit di seluruh dunia, lebih dari 6 juta hektar terdapat di Indonesia. Sayangnya, untuk mencapai luas 6 juta, dipercaya, hutan tropis yang dibuka dan ditebang luasnya jauh lebih besar dari angka tersebut. Perluasan perkebunan sawit, diakui telah menimbulkan masalah lingkungan dan sosial yang parah.
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment